Beranda | Artikel
Kitabul Jami Bab 2 - Hadits 1 - Keutamaan Silaturahmi
Sabtu, 25 Juli 2020

Kitabul Jami’ Bab 2 – Hadis 1
Keutamaan Silaturahmi

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ  .أخرجه البخاري

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullāh ﷺ bersabda, “Barangsiapa senang untuk dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari)

Hadits ini merupakan hadits yang agung yang memotivasi kita untuk menyambung silaturahim. Dari hadits ini kita tahu bahwa ada sebagian amal sholeh yang Allāh tidak hanya memberikan ganjarannya di akhirat saja, tetapi juga di dunia, contohnya menyambung silaturahim.

Ganjaran di dunia yang Allāh siapkan bagi orang yang menyambung silaturahim menurut hadits ini adalah dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Rasululllah ﷺ mengatakan, “Siapa yang suka untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung silaturahim.” Ini adalah motivasi dari Nabi ﷺ yaitu dengan mengiming-imingi ganjaran duniawi.

Oleh karenanya, pendapat yang rajih (terkuat) di antara pendapat para ulama, bahwasanya barangsiapa beramal sholeh ikhlas karena Allāh ﷻ, tidak mengharap pujian manusia, tidak riya’, kemudian dalam niatnya disertai dengan ingin mendapatkan ganjaran duniawi yang diizinkan oleh syari’at, maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasululllah ﷺ sendiri mengiming-imingi dengan mengatakan, “Barangsiapa yang mau.” Artinya “barangsiapa yang berminat dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya menyambung silaturahim.”

Pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam memahami makna  kalimat dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umur. Namun, secara umum ada 2 pendapat yang kuat, yaitu sebaga berikut.

  • Pendapat pertama menyatakan bahwa maknanya adalah makna majasi/kiasan. Hal itu karena rezeki dan umur sudah tercatat di catatan taqdir, sehingga tidak mungkin di ubah-ubah lagi.
    Menurut pendapat ini, maksud dilapangkan rezeki adalah rezekinya diberkahi Allāh ﷻ. Jadi, meskipun  secara kuantitas rezekinya tetap, namun Allāh menjadikan keberkahan pada rezekinya sehingga rezekinya banyak bermanfaat, membawa faidah, dan digunakan untuk beramal sholih serta untuk hal-hal yang dicintai oleh Allāh Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, rezekinya membawa banyak kemanfaatan terhadap dunia dan akhiratnya.Demikian pula halnya dengan maksud dipanjangkan umur, yaitu umurnya tidak berubah sesuai dengan yang ditakdirkan, tetapi Allāh memberkahi umurnya sehingga umurnya itu banyak gunakan untuk kebaikan dan beribadah serta dihindarkan kesia-siaan dan dari sakit yang mengganggu keberkahan umurnya. Dengan demikian waktunya benar-benar bermanfaat, seakan-akan umurnya panjang. Bukankah sering kita dapati ada orang yang memiliki umur yang panjang namun tidak bermanfaat atau yang bermanfaat hanya sedikit dari umurnya? Dengan demikian sebagian umurnya hilang sia-sia dan jauh dari keberkahan.
  • Pendapat yang kedua menyatakan bahwa maknanya adalah makna hakiki. Artinya Allah benar-benar memanjangkan umurnya dan melapangkan rezekinya disebabkan oleh menyambung silaturahim yang ia lakukan.Pendapat kedua ini berpijak pada apa yang telah kita ketahui bersama bahwa Allāh Subhanahu wa Ta’ala bisa mengubah takdir yang berada di tangan para malaikat sebagaimana firman Allāh ﷻ:

    يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ

    “Allāh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’d Ayat: 39)

    Menurut pendapat kedua ini, yang dihapuskan oleh Allah adalah catatan yang berada di tangan malaikat. Bisa jadi Allāh ﷻ telah memerintahkan kepada malaikat untuk mencatat umur hamba sepanjang -misalnya- 60 tahun. Karena hamba tersebut selalu menyambung silaturahim, maka Allāh ﷻ menyuruh malaikat untuk mengubah catatannya sehingga umur hamba tersebut menjadi 70 tahun. Sehingga, umur hamba tersebut benar-benar bertambah selama 10 tahun disebabkan oleh amalannya menyambung silaturahim.

    Namun, Perubahan jatah umur dari 60 tahun menjadi 70 tahun itu sebenarnya tidak mengubah takdir. Karena apa yang terjadi pada hamba tersebut, mulai dari amalan silaturahimya sampai pertambahan umurnya, sebenarnya sudah tercatat di Lauhul Mahfuzh. Dengan demikian, tidak ada perubahan di Lauhul Mahfuzh.

    Allāh mengatakan, “Dan di sisi Allāh ada Ummul Kitab,” dan di Ummul Kitab tidak berubah. Seakan-akan yang tertulis di Lauhul Mahfuzh adalah: Malaikat mencatat awalnya umur si hamba adalah 60 tahun, kemudian karena dia beramal shalih maka Allāh perintahkan agar umurnya ditambah menjadi 70 tahun. Jadi proses perubahan catatan malaikat sudah tertulis di Lauhul Mahfuuzh dan tidak ada perubahan sama sekali.

    Hal yang sama juga berlaku pada rezekinya. Rezeki yang tadinya dicatat sejumlah tertentu oleh malaikat, kemudian ditambah atas perintah Allāh ﷻ karena hamba tersebut bersilaturahim. Namun semua itu sudah tercatata di Lauhul Mahfuzh.

Wallahu a’lam bish-shawwab, dalam hal ini penulis lebih condong dengan pendapat yang kedua. Karena berdasarkan kenyataan yang ada, silatiurahim benar-benar merupakan sebab dipanjangkan umur dan ditambahkan rezeki. Betapa banyak orang yang menyambung silaturahim kemudian rezekinya ditambah-tambah oleh Allāh  ﷻ. Dan ini benar-benar bisa dirasakan secara nyata. Demikian juga betapa banyak orang yang menyambung silaturahim umurnya ditambah, misalnya dijauhkan dari sakit. Barangkali seharusnya dia celaka tapi kemudian dihindarkan dari kecelakaan oleh Allāh  ﷻ sehingga bertambah umurnya.

Semoga Allāh ﷻ memberkahi harta dan umur kita serta semoga Allāh memudahkan kita untuk bersilaturahim.


Artikel asli: https://firanda.com/4129-kitabul-jami-bab-2-hadits-1-keutamaan-silaturahmi.html